Jumat, 10 Agustus 2012

Kamis, 09 Agustus 2012

Andai...


Andai...
Matahari bersinar dengan semangatnya, memberikan panas terik yang luar biasa, membuat banjiran keringat di wajah Agus. Dia menengok ke karung rumputnya, sudah 2 jam mencari rumput, tetapi hanya mendapatkan satu karung saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada peningkatan, batinnya. Dia merebahkan badannya sebentar di bawah pohon mahoni rindang, tempat biasa dia istirahat atau sekedar untuk melamun saja. Siang ini adalah hari ke-7 dia mulai mencari rumput untuk ternaknya, sebenarnya bukan ternaknya, tetapi ternak tetangganya yang di titipkan. Sebelumnya, Agus tidak mempunyai kegiatan apapun, hanya melamun di rumah dan hanyut dalam mimpi-mimpi indah tentang hidupnya. Andai.. Andai .. Andai.. kalimat itu selalu terbayang di fikiran Agus. Andai dia berani memasang tujuan hidupnya, andai dia berani melawan rasa takutnya, andai dia mampu merubah semuanya, andai…
1 tahun yang lalu. Agus melangkah dengan tegap, memakai jas hitam rapi dengan dasi berwarna cerah, membuat Agus terlihat sangat enerjik hari itu. Tak heran, hari itu Agus baru saja diterima sebagai Manager di sebuah perusahan advertising, sebuah impiannya dari dulu, dan dia mendapatkannya sekarang. Sebagai sarjana muda dengan IP cumlaude, Agus memang pantas untuk menjabat posisi tinggi tersebut, apalagi penampilannya yang bisa dibilang di atas garis standart. Agus melangkah memasuki ruangannya, plakat bertuliskan “Manager” sudah terpampang rapi di mejanya. Hebat, gumamnya.
Dua minggu telah berlalu sejak Agus menduduki kursi nyamannya. Dua minggu juga namanya tersohor dipenjuru kantor, sebagai manager baru yang fresh. Maklum, manager sebelumnya tidak semuda Agus. Agus mulai terbiasa dengan hidup barunya sekarang. Dia melakukan apa saja yang dia suka. Setiap pekerjaan yang disuguhkan kepadanya, dia santap dengan lahap. Semakin hari semakin menunjak namanya, dan itu membuat Agus merasa dia adalah yang terbaik dan merasa bisa melakukan apa saja. Sampai pada suatu hari, perusahaan Agus mengalami suatu masalah. Perusahaan advertising tersebut mengalami defisit pendapatan, karena tidak ada ide baru yang muncul. Bahkan saingan dalam bidang advertising semakin ketat. Saat inilah, posisi Agus dipertaruhkan. Dia harus bisa membawa perusahaan tersebut seperti semula. Dia harus mempertahankan mata pencaharian beratus-ratus orang. Inilah hal terberat yang pernah Agus alami. Hal yang dia fikirkan hanyalah bagaimana membuat perusahaan itu tetap bertahan. Dan, yang membuat Agus semakin kewalahan banyak dari client perusahaan tersebut yang mulai meninggalkan perusahaannya. Agus mulai berfikir keras. Akhirnya, dia mendapatkan ide untuk membuat perusahaan itu tetap bertahan. Dia mulai mencari pinjamanan dana, memberhentikan banyak pekerja untuk menekan pengeluaran, dia hanya memikirkan bagaimana perusahaan itu bertahan sehingga jabatan manager tetap dia pegang. Banyak yang menentang keputusan Agus, dengan cara penanggulangan seperti itu Agus benar-benar tidak mempunyai visi ke depan. Memang, dengan cara itu, perusahaan setidaknya bisa tetap “ada” walaupun berada di tempat yang paling bawah dibandingkan perusahaan yang lain. Setidaknya, itu sudah membuat Agus merasa rencananya berhasil dan tetap bisa mempertanggung jawabkan pekerjaanya ke hadapan kepala direktur. Dia tidak memikirkan bagaimana ke depan perusahaan itu akan bersaing dengan perusahaan yang lain yang lebih mempunyai rencana ke depan. Agus merasa nyaman dengan situasi tersebut.
Namun, semua yang difikirkan Agus salah besar. Semakin hari, perusahaan tersebut semakin kehilangan arah, tidak tau mau dibawa kemana. Agus merasa benar-benar gagal. Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi. Perusahaannya tidak bisa bertahan lagi. Tidak bisa bersaing dengan yang lain. Sampai pada akhirnya, perusahaan tersebut bangkrut. Saham dijual ke perusahaan lain untuk menutupi hutang. Pegawai banyak yang diberhentikan termasuk Agus.
Agus menganggur. Ya, dia tidak tahu harus mencari pekerjaannya lagi. Setelah bangkrutnya perusahaan tersebut, dia mulai berfikir untuk bisnis kuliner. Namun gagal, karena dia tidak mempunyai visi mau dibawa sampai mana bisnis tersebut. Berkali-kali dia mencoba untuk bisnis, untuk mencari pekerjaan, namun sayang tidak ada satupun yang bertahan lama. Sudah beratus-ratus stopmap yang dia tawarkan, namun tidak ada yang mengambilnya. Agus sangat tertekan dengan situasi ini, sebagai sarjana, dia merasa sangat rendah jika hanya berada di rumah. Namun, apa mau dikata, dia merasa pesimis akan hidupnya, bahkan dia tidak tahu mau dibawa kemana hidupnya, dia tidak mempunyai tujuan jelas, tidak mempunyai visi. Dia hanya mengurung diri di rumah, mencari lowongan pekerjaan di Koran. Hampir satu tahun, dia menjadi pengangguran. Ada rasa malu di hatinya ketika melihat orang tuanya setiap hari menanyakan dimana dia bekerja.
Suatu hari, saat dia sedang duduk melamun di depan rumahnya lewatlah tetangganya, Pak Amin. Pak Amin terlihat kebingungan. Agus menanyakan kenapa Pak Amin terlihat mencari sesuatu. Ternyata, Pak Amin sedang mencari anak kambingnya yang hilang. Pak Amin adalah juragan ternak di kampung Agus. Agus ingin sekali menjadi seperti Pak Amin, sukses. Pak Amin yang dari tadi melihat Agus melamun, mendekati dan menanyakannya kenapa dia melamun saja setiap hari. Agus menceritakan semua kejadian pahit yang telah membuatnya terjatuh. Pak Amin mengerti dengan kondisi Agus, dia menceritakan bagaimana dia dulu mulai bisnis ternaknya dari nol, dia berani memilih jalan mana yang harus dia lalui, bagaimana dia merancang visi yang jelas, dan bagaimana dia bangkit jika terjatuh. Agus tersentak dengan cerita Pak Amin, dia merasa benar-benar kecil dibandingkan dengan Pak Amin yang sebenarnya hanya lulusan SD saja. Pak Amin juga menawarkan pekerjaan untuk Agus, untuk membantunya merawat ternak. Agus merasa malu untuk menerimanya namun dia berfikir harus berapa tahun lagi dia menganggur di rumah. Akhirnya, dia mengambil pilihan tersebut.
Agus terbangun dari tidurnya. Dia kaget menyadari bahwa hari sudah sore. Dia melihat tumpukan rumput di sampingnya, kecut hatinya menyadari bahwa hanya itu yang ia bisa lakukan. Agus bergegas memasukkan tumpukan rumput ke dalam karung. Hari ini dia hanya bisa mencari 2 karung saja dan itu hanya cukup untuk beberapa kambing saja. Agus memutuskan untuk pulang saja, karena matahari mulai tenggelam. Dengan sepeda kayuhnya, dia pulang untuk memberikan rumput ke ternak Pak Amin. Agus mulai mencoba menyukai pekerjaannya sekarang, walaupun di dalam hatinya dia sangat malu. Namun, dia mulai menyadari, bahwa dia harus menerima ini. Dia harus berubah dari Agus yang dulu.
 Ban sepeda terus berputar menyusuri jalanan yang terjal, meninggalkan sore, meninggalkan kenangan, dan meninggalkan Agus yang dulu. Agus yang dulu tak mempunyai tujuan dalam hidupnya. Dan, sekarang saatnya untuk Agus mengatur hidupnya. Demi apa yang dia inginkan. “Aku bisa jika aku mampu membuat tujuan hidupku dan merealisasikannya,”tegas Agus sambil terus mengayuh sepedanya, meninggalkan sore yeng berona.

Nama : Liliana Isnaini
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Kelompok : Visioner





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...